“…Masyarakat sipil perlu merawat ‘danyang’ agar tidak keluar dari tubuhnya. Merawat ‘danyang’ atau ‘spirit’ masyarakat sipil menjadi keharusan di tengah diskoneksi antara partai politik dan rakyatnya…”
Litani keprihatinan, parade pernyataan kedaruratan negeri oleh sejumlah akademisi di sejumlah negeri, berangsur sepi. Mungkin lelah dengan kondisi negeri. Saya bertanya kepada seorang guru besar yang pernah menyuarakan petisi kedaruratan. Ia menjawab, ”Kampus tidak seragam. Para rektor umumnya tidak mendukung. Tetapi sejumlah dosen masih marah-marah. Mungkin akan bikin seruan lagi.”
Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei menunjukkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diperkirakan memimpin Indonesia 2024-2029. Adapun PDI Perjuangan diperkirakan tetap memperoleh suara terbanyak secara nasional di DPR diikuti Partai Golkar. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang disebut partainya Pak Jokowi dan ditargetkan masuk ke DPR, menurut sejumlah lembaga survei, belum bisa masuk ke parlemen. Perolehan suara PSI belum mencapai 4 persen sebagai ambang batas parlemen.
Entah nanti dalam penghitungan manual berjenjang yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum.
Pelaksanaan pemilu dari prapencoblosan penuh dengan dinamika dan memakan korban. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden memakan korban, yaitu paman Gibran, Anwar Usman. Anwar dinonpalukan dan dilarang menyidangkan perkara pemilu. Ia bertahan di lantai 15 Gedung MK dan menggugat pencopotannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Ketua KPU juga jadi korban putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu karena secara administratif dinilai kurang profesional saat menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres sebelum aturan KPU diubah.
Di arus atas dibangun narasi ”anak haram konstitusi”, ”tunaetika”, ”tuna-adab”, ”nepotisme”, dan ”machalivelian”, tetapi semua tak mendapat tanggapan.
Tahapan pemilu terus berjalan sesuai dengan jadwal. Suara kelas menengah, suara guru besar, terdengar keras di media, tetapi tak bergema di rakyat kebanyakan. Mungkin suara itu dicatat dan tercatat dalam perpustakaan digital, tetapi hanya sekadar dokumentasi. Para guru besar itu seperti terputus dengan rakyat bawah. Sementara pada level bawah, bantuan sosial digulirkan. Negara berinteraksi langsung dengan massa melalui program bantuan sosial yang menggiurkan.
Situasi inilah yang dibaca Ulil Abshar-Abdalla (Kompas, 15 Februari 2024). Ia menulis, ”Seharusnya, menjadi wake up call bagi kalangan terdidik. Terus terang, saya mengendus adanya semacam ’kesombongan tersembunyi’ di kalangan ini—sebut saja middle class intellectual bias. Mereka cenderung menelaah Indonesia melulu dari sudut ’kemunduran demokrasi’ seolah-olah tak ada isu lain yang juga urgent. Saya hanya mau mengatakan hal sederhana saja: mungkin saatnya kita menelaah Indonesia tidak semata-mata dari satu sudut saja. Ada baiknya kita juga sedikit humble menerima kenyataan bahwa rakyat Indonesia boleh jadi memiliki prioritas yang berbeda untuk Indonesia.”
Tesis Ulil itu kemudian dibantah Bivitri Susanti dalam esai berjudul ”Demokrasi Bukan Hanya Pencoblosan” (Kompas, 22 Februari 2024). Menurut Bivitri, ”Demokrasi bukan angka, melainkan partisipasi politik yang prosesnya bisa dipertanggungjawabkan sejak awal penentuan kandidat sampai penentuan hasil.”
Polemik soal demokrasi era reformasi menarik untuk terus didialogkan.
Apakah bangsa ini sedang menuju pada demokrasi yang stagnan atau menuju demokrasi yang beku atau menjalani demokrasi terpimpin. Demokrasi yang dipimpin seorang pemimpin yang menggunakan jalur-jalur demokrasi justru untuk melumpuhkan demokrasi dan menjadikan hukum sebagai alat penundukan politik.
Rasanya, dalam konteks itulah masyarakat sipil atau para intelektual yang kelelahan tak boleh kembali tertidur atau malah mengambil petam melegitimasi penyimpangan. Kaum intelektual harus berani turun gunung dan menjadi intelektual organik bersama rakyat untuk merawat demokrasi.
Masyarakat sipil perlu merawat ”danyang” agar tidak keluar dari tubuhnya. Merawat ”danyang” atau ”spirit” masyarakat sipil menjadi keharusan di tengah diskoneksi antara partai politik dan rakyatnya.
Peta jalan harus disusun untuk menyusun bagaimana memperbaiki kondisi negeri. Peta jalan harus dibuat, bagaimana mau menata ulang kekuasaan yudikatif yang tersandera problem etika, korupsi, dan hilangnya shame culture. Peta jalan harus disusun untuk membumikan kembali Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara serta Ketetapan MPR soal Pemerintahan yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme agar bangsa ini tak bergerak mundur ke titik saat Tap MPR soal etika dan Tap MPR soal korupsi itu dilahirkan. Banyak problem kebangsaan yang membutuhkan penyelamatan kelembagaan.
Namun, kekuatan masyarakat sipil tetap terbatas. Masyarakat sipil membutuhkan dukungan politik riil di parlemen. Sikap PDI-P sebagaimana pernah dikatakan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto akan berada di luar pemerintahan adalah sikap positif. Meski ada keinginan merangkul putra terbaik anak bangsa untuk bergabung dalam pemerintahan, biarlah mereka yang kalah dalam kontestasi tetap berada di luar pemerintahan.
Jika PDI-P, PKB, Nasdem, dan PKS punya kekuatan iman untuk berada di luar kekuasaan, tentunya niat untuk melemahkan KPK tak mudah diwujudkan, niat untuk mewujudkan RUU Perampasan Aset bisa kembali didiskusikan, bukan dipetieskan. Gagasan membuat RUU Kepresidenan bisa kembali dibawa ke ruang publik dan ruang politik agar ada kejelasan posisi presiden sebagai kepala pemerintahan, kepala negara, ketua umum partai politik, dan penguasa tertinggi atas tentara bisa didudukkan secara pas.
Pernyataan Anies Baswedan untuk tetap setia di jalur perubahan dan syukur-syukur mau menemani masyarakat sipil layak diapresiasi. Karena jalan politik Anies dan Ganjar masih terbuka ke depan.
Peristiwa politik kontemporer dan jejak digital mengajarkan bahwa politik di Indonesia barulah sebatas perebutan kepentingan. Tiada musuh abadi dalam politik selain kepentingan itu sendiri. Ketika jejak digital dibuka, maka sangat telanjang bahwa kritik keras itu punya tujuan untuk hanya sekadar bisa diadopsi dalam kekuasaan. Ketika kursi kekuasaan diberikan, maka cep klakep dalam bahasa Jawa atau diam seribu bahasa. Itulah ujian manusia. Kondisi itulah yang ditengarai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Harkristutii Harkrisnowo dalam acara Satu Meja The Forum, malik grembyang atau terbalik 180 derajat. Apa yang dikatakan berbeda dengan yang dilakukan.
Terima kasih. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan. Mohon undur diri. (Esai 24 Februari 2024 ini merupakan esai Sabtu terakhir saya di Harian Kompas. Kolumnis di Kompas hanya diperuntukkan untuk wartawan yang masih menjadi karyawan Kompas. Setelah saya resmi secara administratif pensiun, saya pun berhenti menulis kolom di Harian Kompas).
Leave a Reply