Hujan di Depan Istana

”…Perjuangan melawan lupa merupakan kewajiban manusia yang tak ingin membiarkan sejarah dikuasai penguasa…”

Kamis (15/2/2024) siang, sehari setelah Pemilu 2024, hujan lebat mengguyur Jakarta. Mata saya tertuju pada Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka. Itu adalah Aksi Kamisan ke-805. Aksi Kamisan mirip dengan gerakan The Mothers of The Plaza de Mayo, kelompok ibu-ibu yang anaknya hilang diculik rezim militer di Argentina.

Di Indonesia, Kamisan adalah gabungan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia sejak tahun 1965 hingga era Orde Baru. Mereka berjuang menuntut keadilan. Mereka berjuang menuntut ditiadakannya impunitas bagi pelaku kejahatan kemanusiaan. Bicara soal Kamisan tertuju pada sosok ibu yang kian renta, Maria Katarina Sumarsih, ibunda Bernardino Norma Imawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas diterjang peluru aparat keamanan, 13 November 1998.

Hujan lebat mengguyur. Sejumlah aktivis mendengarkan orasi dan sejumlah tokoh, selain Sumarsih, pemegang Yap Thiam Hien Award ke-14. Filsuf Agustinus Setyo Wibowo, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, juga ikut berorasi. Mengenakan kaus hitam, bersepatu sandal dengan celana jins, dipayungi payung hitam, Setyo antara lain mengatakan, ”…berapa ratus minggu dilewati, berapa musim hujan dilalui, berapa musim panas dilampaui, berapa presiden menjanjikan penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Berapa kali mereka dikecewakan oleh pragmatisme politisi di era demokrasi yang akhir-akhir ini kian tuna-etika. Akan tetapi, apakah Bu Sumarsih balik badan dan berkompromi. Sama sekali tidak…”

Di tengah suasana tintrim melihat hasil Pemilu Presiden 2024, saya tercenung. Meresapi kembali orasi Setyo yang potongan videonya viral. ”Berapa musim panas, berapa musim dingin, berapa presiden menjanjikan. Namun, berujung pada kekecewaan.” Saya teringat Milan Kundera dalam novel The Book of Laughter Forgetting. Kundera menulis, ”Perjuangan melawan lupa merupakan kewajiban manusia yang tak ingin membiarkan sejarah dikuasai penguasa.”

Sejarah tak selalu harus ditulis yang menang. Tapi sejarah harus bisa ditulis pihak yang kalah atau dikalahkan, yang tak punya lisan dan kata-kata.

Kamisan perlu ditempatkan sebagai perjuangan anak bangsa melawan lupa.

Sejarah bangsa ini kerap disertai darah dan air mata. Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto diwarnai pergolakan yang memakan banyak korban jiwa. Peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Reformasi tahun 1998 juga ditandai kerusuhan sosial di Jakarta dan kota lain yang juga mengakibatkan korban jiwa. Demokrasi yang dilahirkan di Reformasi Mei 1998 dibangun dari rakyat yang berjuang menuntut demokrasi. Saat Soeharto mencoba mempertahankan kekuasaan dilakukan dengan membredel media, menculik aktivis yang dianggap mengganggu stabilitas nasional. Transisi kekuasaan di Indonesia selalu ada ganjalan.

Sumarsih bukan hanya mewakili Wawan. Tapi dia mewakili keluarga korban pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM Tanjung Priok 1984, Trisakti, Semanggi I dan II, juga pelanggaran HAM masa lalu yang telah diakui pemerintahan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi dalam dokumen Nawacita I menjanjikan akan menyelesaikan detail satu per satu kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan. Ikhtiar itu sudah dilakukan melalui jalur nonyudisial. Namun hasilnya, belum memenuhi rasa keadilan. Aksi Kamisan tetap berlanjut menuntut keadilan bagi korban. Aksi Kamisan juga bukan ritual lima tahunan, melainkan ritual mingguan yang seharusnya didengar penyelenggara negara.

Sumarsih adalah sosok tegar yang berjuang dalam perjuangan yang sepi.

Jumat, 9 Februari 2024, saya datang ke rumah Sumarsih. Kebetulan saya ikut menyertai kunjungan Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo dan pemikir kebinekaan Sukidi Mulyadi. Kehadiran Uskup Agung untuk mendengar kisah soal Wawan dan kisah soal Sumarsih yang terus berjuang untuk mendapatkan keadilan.

Kaus warna putih terakhir yang dikenakan Wawan saat ditembak masih tersimpan rapi. ”Lemari milik Wawan belum saya bongkar semuanya,” ucap Sumarsih. Uskup Agung melihat dan membolak-balik kaus itu sambil bertanya-tanya. Kehadiran Suharyo adalah bentuk dukungan moral untuk perjuangan Sumarsih. Uskup Agung menyerahkan lukisan berjudul ”Ecce Homo” atau dalam bahasa Indonesia ”Lihatlah Manusia Itu”. Lukisan itu dibuat Nelya Hanchich, mahasiswa The Lviv National Academy of Arts, Ukraina, tahun 2022. Uskup Agung juga memberikan sebuah rosario untuk Sumarsih dan keluarga.

Isu HAM, demokrasi, etika, dan moralitas bisa saja dianggap sebagai isu pinggiran yang tak layak didiskusikan dalam ruang publik. Bahkan, ada pandangan yang layak diperdebatkan, ada ”kesombongan tersembunyi” kelas menengah yang mengusung isu kemunduran demokrasi yang diangkat Ulil Abshar Abdalla di Kompas, 15 Februari 2024.

Ulil menulis, ”ada baiknya kita sedikit humble menerima kenyataan bahwa rakyat Indonesia boleh jadi punya prioritas yang berbeda untuk Indonesia.”
Gelombang balik demokrasi sebagaimana ditengarai Samuel Huntington dan Lawrence Harrison boleh jadi sedang terjadi di negeri ini. Dan jika arah itu benar, bisa saja merupakan tanda awal kegagalan konsolidasi demokrasi di negeri ini. Lawrence Whitehead dalam artikel bertajuk ”Consolidation of Fragile Democracy” menyebut, pengungkapan kasus pelanggaran HAM merupakan prasyarat mutlak bagi terjadinya konsolidasi demokrasi. ”Kalau kejahatan besar tidak diselidiki dan pelakunya tidak dihukum, tidak akan ada pertumbuhan keyakinan terhadap kejujuran secara nyata, tidak akan ada penanaman norma demokrasi dalam masyarakat dan karena itu tidak terjadi konsolidasi demokrasi,” ujar Whitehead.

Juan J Linz dan Alfred Stepan dalam Problems of Democratic Transition and Consolidation mengungkapkan, konsolidasi demokrasi bukan hanya mempersyaratkan dilangsungkannya pemilu bebas dan berjalannya mekanisme pasar. Ada lima prasyarat lain.

Pertama, adanya masyarakat sipil otonom dan diberikan jaminan hukum berorganisasi dan menyatakan pendapat. Kedua, adanya masyarakat politik di mana tokoh diberi kesempatan terbuka bersaing secara sehat guna menjalankan kontrol atas kekuasaan. Ketiga, dianutnya supremasi hukum. Keempat, adanya birokrasi yang memenuhi persyaratan legal-rasional. Birokrasi yang mendukung dan melayani masyarakat sipil dalam menjalankan tugas pemerintahan. Kelima, terciptanya masyarakat ekonomi yang menjadi perantara negara dan masyarakat untuk menjalankan perekonomian.

Prasyarat itu kian lebur.

Hormat pada HAM adalah fondasi tegaknya demokrasi. Jika demokrasi mengubur masalah HAM, sama saja dengan demokrasi sedang menggali liang kuburnya sendiri. Sayup-sayup saya kembali mendengarkan orasi Setyo. ”…Perjuangan nilai etika, perjuangan soal hak asasi manusia, perjuangan demokrasi dan gerakan reformasi adalah perlawanan terhadap ketamakan dan sangat mungkin akan kembali lagi….”

(Esai ini telah dimuat Kompas 17 Februari 2024)

Uskup Agung menyerahkan lukisan berjudul “Ecce Homo” kepada Sumarsih
Dari kiri ke kanan: Wisnu Nugroho, Arief Priadi (Suami Sumarsih), Uskup Agung Jakarta, Sumarsih, putri dari Sumarsih, Budiman Tanuredjo, Romo Adi Prasojo, dan Sukidi Mulyadi.
Budiman Tanuredjo berfoto bersama lukisan “Ecce Homo” yang diberikan Uskup Agung untuk Sumarsih

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *