Kepresidenan Lembaga Tanpa Undang-undang

“…Seluruh lembaga tinggi negara sudah diatur oleh undang-undang. Satu-satunya yang belum diatur adalah lembaga kepresidenan...”

Muhaimin Iskandar (2002)

Ruang Kompas Institute, Jumat (8/3/2024) menjadi ajang “reuni” sejumlah anggota MajelisPermusyawaratan Rakyat (MPR) yang merancang perubahan UUD 1945.

Ada Jakob Tobing, Ketua Panitia Adhoc I Badan Pekerja MPR, yang menjadi salah seorang arsitek perubahan UUD 1945. Jakob meluncurkan buku biografi berjudul “Sosok di Balik Milestone Indonesia Baru” yang ditulis Bernada Rurit.

Hadir anggota MPR yang terlibat dalan pembahasan perubahan UUD 1945 seperti Baharuddin Aritonang, Theo Sambuaga, Zainal Arifin, Zein Badjeber, Valina Singka Subekti, dan Harjono.

Jakob menjadikan pengalamannya merancang perubahan UUD 1945 sebagai bahan penelitian untuk disertasi doktor di Leiden University, Belanda. Langkah Jakob tentunya menjadi capaian luar biasa meraih gelar doktor pada usia senja dan dilakoni di universitas ternama.

Disertasi berjudul, “Remaking Negara Hukum:The Essence of 1999-2002 Constitutional Reform in Indonesia”  segera diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Disertasi itu akan menjadi khazanah kajian konstitusi dan indigenous democracy di Indonesia.

Ajang bedah buku menjadi semacam forum refleksi atas perjalanan perubahan UUD 1945 dan perkembangan politik kontemporer, khususnya paska  Pemilu Serentak 14 Februari 2024. Sejak Perubahan UUD 1945 bangsa ini telah melaksanakan lima kali pemilu.

Namun, Pemilu 2024 menjadi istimewa karena  untuk pertama kali, seorang putra presiden, Gibran Rakabuming Raka, ikut kontestasi pemilu Presiden 2024 sebagai calon wapres bersama Prabowo Subianto.

Pada saat tersebut, Presiden Jokowi masih menjabat Presiden hingga 20 Oktober 2024. Posisi netralitas Presiden dipertanyakan.

Lembaga kepresidenan dan perubahan UUD

Peristiwa politik itu tak pernah terbayang oleh para perancang perubahan UUD 1945.

Fakta politik itu memunculkan pertanyaan sejauh mana lembaga kepresidenan ditempatkan dalam desain perubahan UUD 1945. Presiden memang menjalankan kekuasaan menurut UUD 1945. Namun, konstitusi tidak pernah memerintahkan agar lembaga kepresidenan diatur dalam undang-undang.

Membaca teks konstitusi hasil perubahan 1999-2002, konstitusi memerintahkan  DPR dan Pemerintah membuat undang-undang untuk mengatur kekuasaan legislatif yakni lembaga MPR/DPR/DPD, memerintahkan pembuatan undang-undang untuk kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.

Perubahan UUD 1945 juga memerintahkan  agar masalah TNI, Polri, Kejaksaan, Kementerian, Dewan Pertimbangan Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan diatur oleh undang-undang. Semua komisi negara juga diatur oleh undang-undang.

Sebaliknya, perubahan UUD 1945 tidak  memberikan perintah kepada Presiden dan DPR untuk membuat undang-undang khusus mengenai lembaga kepresidenan. Perubahan UUD 1945 hanya memerintahkan syarat menjadi presiden dan tata cara memilih presiden diatur dengan undang-undang.

Perubahan UUD 1945  memerintahkan agar tugas dan kewenangan Presiden menandatangani perjanjian internasional, memberikan tanda jasa, menyatakan keadaan darurat dan sejumlah wewenang lain  diatur dalam undang-undang.

Mengapa Perubahan UUD 1945 dan memberikan mandat kepada Presidan dan DPR membuat UU tentang Lembaga Kepresidenan?

Apakah argumen bahwa Presiden menjalankan kekuasaan dari UUD sudah mencukupi dan tidak perlu undang-undang lembaga  kepresidenan?

Ataukah, yang harus diatur dalam undang-undang cukup mengenai kewenangan Presiden misalnya saat menandatangani perjanjian internasional, memberi gelar dan tanda jasa, mengangkat menteri,  menyatakan status negara dalam keadaan tertentu dan sejumlah wewenang lain?

Perkembangan politik kontemporer memberikan  pesan kepada bangsa ini  untuk  memikirkan kembali apakah tidak  diperlukan UU Lembaga Kepresidenan. Dalam posisi Presiden bisa melekat beberapa posisi dan atribusi.

Presiden sebagai kepala pemerintahan, Presiden sebagai kepala negara, Presiden sebagai penguasa tertinggi atas Angkatan. Akan tetapi bisa juga melekat posisi Presiden sebagai ketua umum partai politik, politisi, pejabat publik atau kepala keluarga. Perubahan UUD 1945 tak mengatur masalah tersebut.

Undang-undang Lembaga Kepresidenan  perlu memikirkan bagaimana  mengatur secara lebih detil situasi transisi setelah presiden baru terpilih sampai presiden petahana mengakhiri masa jabatannya.

Dalam percakapan periode itu disebut “lame duck periode.” Periode  di mana Presiden petahana masih menjabat sampai akhir masa jabatannya dan presiden terpilih menunggu pelantikan.

Mantan presiden dalam sistem presidensial

Hal lain yang perlu dipikirkan adalah bagaimana bangsa ini mau menempatkan mantan-mantan Presiden dalam sistem presidensial. Di Amerika adalah semacam The President Club, tempat dimana mantan-mantan Presiden Amerika Serikat bertemu untuk membicarakan masalah kebangsaan.

Di Indonesia sudah menjadi pemahaman  publik relasi antara Presidan dan mantan Presiden tidaklah terlalu baik.

Relasi antara Presiden Soekarno dan Soeharto tidak baik. Relasi antara Presiden Soeharto dan Presiden BJ Habibie juga tidak mulus. Bahkan, transisi kekuasaan ditandai kerusuhan sosial. Relasi antara BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri relatif lebih baik. 

Namun, hubungan antara Presiden Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Jokowi juga terasa up and down.

Posisi presiden-presiden dan wapres yang pernah menjabat selayaknya juga perlu diatur dalam Undang-Undang Lembaga Kepresidenan.

Indonesia pascreformasi sebenarnya sudah mempersiapkan RUU Inisiatif DPR soal Lembaga Kepresidenan.

Membaca Kompas, 27 Maret 2002, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar pernah mengatakan, “…Seluruh lembaga tinggi negara sudah diatur oleh undang-undang. Satu-satunya yang belum diatur adalah lembaga kepresidenan. Keengganan membahas Undang-undang Lembaga Kepresidenan hanya akan melarut-larutkan tata hubungan antar-lembaga sekaligus kewenangan yang dimiliki oleh presiden..”

Nyatanya, inisiatif DPR untuk menyusun RUU Kepresidenan tak menjadi kenyataan. Baik Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati Soekarnoputri tak merespon RUU Inisiatif DPR.

Presiden Megawati menjawab, “Kami berpendapat akan lebih baik bilamana pembahasan rancangan undang undang tersebut dapat ditunda sampai selesainya proses amandemen UUD 1945. (Kompas, 10/7/2002). Kini, perubahan UUD 1945 telah selesai dibahas. Bahkan telah dilaksanakan.

Dua puluh dua tahun kemudian, bangsa ini rasanya perlu memikirkan RUU Lembaga Kepresidenan ketika ada gejala cara berpemerintahan saat ini mengarah pada formalisme demokrasi yang mengabaikan etika, moralitas, serta fatsun politik.

Memang kehadiran RUU Lembaga Kepresidenan seakan melawan sifat hakiki dari kekuasaan. Siapapun yang berkuasa tentunya tak menghendaki kekuasaannya dibatasi. Kehadiran RUU Lembaga Kepresidenan bisa saja dianggap bakal membatasi kekuasaan sehingga tak seorang pun Presiden mau kekuasaannya dibatasi.

Sikap itu wajar karena kekuasaan itu memang menggentarkan dan mengagumkan (fascinosum et tremendum).

Namun, wajah lain dari kekuasaan adalah memabukkan yang bisa membuat pemimpin lupa diri sehingga dia bisa jatuh karena kekuasaanaya.

Kekuasaan itu juga cenderung korup, karena itulah kekuasaan itu harus dibatasi. Karena itulah, RUU Lembaga Kepresidenan layak untuk dipikirkan. Memang dibutuhkan sosok pemimpin yang rela dan berani untuk membatasi kewenangannya agar dia tak tergelincir menjadi mabuk kekuasaan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *