RUU Jakarta Terlambat, Kelalaian Konstitusional

“… Paling lama dua tahun sejak Undang-undang ini diundangkan, UU No 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia diubah sesuai dengan ketentuan undang-undang ini….”

Itulah kesepakatan politik Presiden Jokowi dan DPR yang dituangkan dalam pasal 41 UU No 2/2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN). UU IKN diundangkan 15 Februari 2022. Itu berarti 15 Februari 2024 menjadi batas akhir bagi pemerintah dan DPR untuk merevisi UU tentang Jakarta untuk disesuaikan dengan UU IKN.

Namun kenyataannya, sampai 15 Maret 2024, sudah terlambat satu bulan dari batas akhir, revisi UU tentang Daerah Khusus Jakarta belum selesai dan masih dibahas di DPR. Masih ada kontroversi di sana.

Gagalnya Pemerintah dan DPR merevisi UU tentang Jakarta, sesuai dengan batas waktu, bisa disebut sebagai kelalaian konstitusional. Kesepakatan politik itu gagal dipenuhi baik oleh Presiden Jokowi maupun DPR. Kesibukan Pemilu boleh jadi membuat Presiden dan DPR abai dengan perintah atau kesepakatan politik yang dibuatnya sendiri. Namun, seharusnya itu tak bisa menjadi pembenaran.

Kelalaian konstitusional akhirnya memunculkan polemik mengenai status Jakarta sebagai ibukota negara. Satu tafsir mengatakan Jakarta telah kehilangan status ibukota per 15 Februari 2024. Namun tafsir lain mengatakan, Jakarta tetap sebagai Ibu Kota Negara karena belum ada keputusan presiden yang menyatakan Ibu Kota Negara telah pindah dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara. Presiden Jokowi belum menerbitkan Keppres sebagai pertanda kepindahan Ibu Kota dari Jakarta ke IKN.

Kelalaian konstitusional seperti ini seharusnya tak perlu terjadi seandainya Presiden Jokowi dan DPR mencermati dan mentaati agenda konstitusional yang sudah disepakati. Adanya kesibukan persiapan pemilu seharusnya sudah dipertimbangkan saat UU IKN diundangkan. Ada waktu dua tahun untuk mempersiapkan revisi UU tentang Jakarta. Dan, publik pun sudah mengingatkan.

Memang tidak ada sanksi yuridis maupun politis atas kelalaian konstitusional tersebut. Namun kelalaian konstitusional itu bisa mempengaruhi persepsi publik soal penghormatan pemerintah dan DPR terhadap pasal-pasal dalam undang-undang. Jika pasal yang berarti kesepakatan politik tak ditaati, buat apa pasal itu dibuat bahkan diberi batas waktu dua tahun.

Subtansi RUU Daerah Khusus Jakarta sendiri masih menyisakan misteri. Badan Legislatif DPR menyiapkan draf RUU Daerah Khusus Jakarta. Pada Selasa 5 Desember 2023, Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus (Fraksi Partai Golkar) mensahkan RUU Daerah Khusus Jakarta sebagai usul inisiatif DPR. Delapan fraksi menyetujui, hanya Fraksi PKS yang menolak.

Dari sisi substansi, paling tidak ada dua pasal kontroversial dalam RUU Inisiatif DPR soal Daerah Khusus Jakarta. Pertama, soal keinginan politik DPR untuk menghilangkan unsur “pemilihan” dalam pemilihan Gubernur Jakarta. DPR merumuskan Gubernur Daerah Khusus Jakarta ditunjuk, diberhentikan Presiden setelah mendengar pendapat DPRD.

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Amir Uskara seperti dikutip Kompas.com 8 Desember 2023 mengakui Fraksi Persatuan Pembangunan mengusulkan Gubernur Jakarta ditunjuk dan diberhentikan Presiden setelah mendengarkan pendapat DPRD. PPP ingin Gubernur sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. (Kompas.com 8 Desember 2023). Usulan ini kemudian diakomodasi semua fraksi di DPR, kecuali Fraksi PKS.

Pemikiran politik untuk mengembalikan sistem pemilihan langsung ke DPRD bukan pertama kali terjadi. Pada tahun 2014, DPR mensahkan UU Pilkada dan mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Pengambilan keputusan dilakukan melalui voting dan walkout Fraksi Partai Demokrat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian menerbitkan Perppu dan mengembalikan lagi pemilihan kepala daerah tetap secara langsung oleh rakyat.

Pasal yang dirumuskan DPR dalam RUU Inisiatif DPR tentang Daerah Khusus Jakarta itu dinilai anti demokrasi. Namun itu sejalan dengan Kepala Otoritas IKN yang juga ditunjuk oleh Presiden. Publik pun menolak rumusan Gubernur Jakarta ditunjuk oleh Presiden. Jajak Pendapat Kompas menunjukkan 66 persen responden menolak Gubernur Jakarta ditunjuk Presiden. (Kompas 12 Maret 2024).

Datangnya klausul “penunjukan” bukan pemilihan, memang mengejutkan dan mengagetkan sejumlah pihak. Pertanyaan yang muncul adalah siapa di belakang Baleg DPR sehingga berani merumuskan pasal Gubernur Daerah Khusus Jakarta ditunjuk oleh Presiden.

Apakah betul rumusan Gubernur Jakarta ditunjuk Presiden semata-mata usulan ormas atau ada kekuatan lain di balik anggota Baleg. Itu tetap menjadi misteri. Setelah publik terkejut, kaget dan mengkritik usulan DPR serta pemerintah melalui Mendagri Tito Karnavian menyatakan sikap pemerintah yang menghendaki Gubernur Jakarta tetap dipilih, sejumlah anggota DPR pun balik badan.

Saya sempat berbicara dengan sejumlah anggota Komisi II DPR yang juga mempertanyakan asal muasal datangnya rumusan Gubernur Jakarta ditunjuk Presiden. Ada banyak spekulasi ada tangan tak kelihatan yang bermain di Baleg sehingga merumuskan sistem penunjukan untuk Gubernur Daerah Khusus Jakarta dan kemudian diadopsi jadi usul inisiatif DPR. Publik rasanya perlu mengetahui siapa saja anggota Baleg yang menyusun dan merumuskan pasal anti demokrasi tersebut.

Jika kemudian, DPR kembali ke jalan yang benar, dengan menyepakati Gubernur Jakarta dipilih oleh rakyat, bagaimana dengan walikota. Apakah lima walikota di wilayah Daerah Khusus Jakarta akan ditunjuk oleh Gubernur atau menggunakan prinsip demokrasi dan diserahkan kepada rakyat. Itu akan menjadi perdebatan politik berkepanjangan.

Peta politik Jakarta berdasarkan hasil Pemilu 2024 telah berubah. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi pemenang Pemilu di Jakarta menggeser PDI Perjuangan. Ketua DPRD Jakarta akan dijabat kader PKS. Salah neorang kader PKS dikutip mengingingkan Jakarta Sebagai ibukota legislatif. Sementara ibu kota kekuasaan eksekutif berada di Ibu Kota Nuisantara.

Hal kedua yang memicu kontroversi adalah wilayah aglomerasi dikoordinasikan Dewan Aglomerasi yang dipimpin Wakil Presiden. Aglomerasi Jakarta meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur. Tetap butuh kajian mendalam soal Dewan Aglomerasi dalam mengelola wilayah aglomerasi Jakarta dan daerah sekitarnya. Bagaimana menjaga peran Dewan Aglomerasi tidak tumpang tindih dengan kewenangan kepala daerah maupun terhadap visi Presiden sendiri.

Apa peran Dewan Aglomerasi dalam mengkoordinasikan penanganan wilayah di sekitar Jakarta. Rumusan pasal aglomerasi dikoordinasikan oleh Wapres, dalam hal ini, Gibran Rakabuming Raka, tetaplah muncul berbagai prasangka politik. Apakah juga tepat menempatkan Wapres sebagai Ketua Dewan Aglomerasi Daerah Khusus Jakarta, sementara Wapres akan berkantor di Ibu Kota Nusantara.
Atau Presiden berkantor di IKN dan Wapres berkantor di Jakarta?

Meskipun sudah terlambat karena kelalaian konstitusional Presiden dan DPR, pembahasan RUU DKJ tidak boleh terburu-buru. Publik harus dilibatkan. Rasa perasaan orang Jakarta yang bakal menjadi “orang daerah” setelah status ibu kota dilepas dan pindah ke IKN, perlu jadi perhatian. Mahkamah Konsitusi (MK) telah memerintahkan perlunya partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam pembahasan rancangan undang-undang.

Jajak Pendapat Kompas, 12 Maret 2024, menunjukkan 59,6 persen responden merasa tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Daerah Khusus Jakarta. Publik tak boleh ditinggalkan karena partai politik sepertinya teralienasi dengan rakyatnya. Apapun, Jakarta tetaplah punya nilai sejarah besar bagi republik ini, Jakarta tetaplah menjadi pusat perekonomian di negara ini, Jakarta adalah tempat di mana proklamasi kemerdekaan dinyatakan.*



Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *